Kamis, 27 November 2014

Cristiano Ronaldo

Video All freekick CR7

Cerita Rakyat Bengkulu "Ular Kepala Tujuh siPenunggu Danau Tes"


Ular Kepala Tujuh siPenunggu Danau Tes
            Hilangnya Putra Mahkota Gajah Meram dan Istrinya Putri Jenggai, secara miterius di pemandian kerajaan Aket di tepi Danau Tes menggemparkan isntana kerajaan Kutei Rukam. Mereka memang sedang menjalani upacara mandi berendam di pemandian itu. Upacara itu merupakan salah satu rangkaian upacara pernikahan antara Putra Mahkota kerajaan Kutei Rukam dan Putri Jenggai dari kerajaan Suka Negeri.
            Raja kerajaan Kutei Rukam, raja Bikau Bermano, berinisiatif mengadakan pertemuan darurat. Pertemuan itu dihadiri para petinggi dari kerajaan, bendahara, para hutabalang, dan tujuh orang putranya. Kecemasan tampak jelas di raut wajah sang Raja karena anak dan menantunya hilang tanpa jejak.
            “Terima kasih saya ucapkan kepada kalian semua yang sudi menghadiri pertemuan darurat ini. Seperti yang telah kalian ketahui dari kabar yang sudah beredar luas, baik di lingkungan istana maupun di masyarakat luas bahwa Putra Mahkota dan istrinya hilang begitu saja di tepi Danau Tes. Adakah yang dapat memberikan pandangannya mengenai masalah ini?” tanya Raja sambil mengalihkan pendangannya menyapu semua yang hadir di ruang sidang istana. Sang raja sangat berharap ada setitik informasi atau jalan keluar yang dihasilkan melalui pertemuan itu.
            “Maaf, Baginda Raja. Hamba adalah hulubalang yang bertugas bersama tiga orang pengawal kerajaan yang bertanggung jawab  menjaga keselamatan Putra Mahkota dan Putri Jenggai. Sementara keduanya berendam,kami berjaga-jaga di depan pemandian. Akan tetapi, hingga matahari tambah tinggi, mereka belum selesai juga. Hambalah yang masuk ke pemandian untuk memastikan keadaan mereka. Hamba sangat terkejut mendapati  Putra Mahkota dan Putri Jenggai tidak ada di pemandian, padahal kami yang menjaga diluar tidak mendengar adanya suara keributan. Hamba dan semua pengawal menyusuri tepian danau untuk mencari mereka. Hasilnya seperti yang Baginda Raja ketahui. Putra Mahkota dan Putri Jenggai belum ditemukan hingga kini,” jelas hulubalang yang usianya hampir separuh baya.
            “aneh memang. Sampai-sampai penjaga yang dekat di lokasi pemandian pun tidak mendengar sesuatu saat putra dan menantuku menghilang,” gumam sang Raja.
            “Ampun, Baginda. Hamba ingin menyampaikan pendapat hamba. Mungkin saja, Putra Mahkota dan Putri Jenggai diculik olehUlar Raksasa berkepala Tujuh yang menghuni dasar Danau Tes. Pendapat hamba ini didasarkan pada cerita-cerita dari tun tuai  (orang tua-tua). Menurut mereka, raja ular itu sangat sakti, licik, kejam dan suka mengganggu beberapa orang yang sedang mandi di Danau Tes,” ujar hulubalang lainnya turut menyumbang pendapatnya.
            Mendengar raja ular sakti disebut-sebut, suasana pertemuan menjadi gaduh dan ramai. Masing-masing bercerita tentang keberadaan ular sakti itu kepada orang di samping kanan dan kirinya di ruang rapat itu. Ada yang bercerita tetangganya yang di ganggu, saudara, atau orang penting di desanya. Akan tetapi, tidak satupun dari mereka yang pernah menyaksikannya atau sekeda berurusan langsung dengan raja ular di Danau Tes itu. Mereka salin bertukar kabar burung yang belum jelas kebenarannya. Pada dasarnya, cerita Raja ular yang sakti dan suka mengganggu itu bukanlah halyang baru bagi mereka. Melihat suasana rapat yang gaduh, sang Raja kembali bertatih. Sekejap, para peserta pertemuan langsung terdiam.
            “Jika benar apa yang kamu katakan hai Hulubalang, siapakahyang mampu menandingi si Raja ular serta membebaskan Putra Mahkota dan istrinya dari cengkramannya?” tantang baginda Raja kepada semua yang hadir dalam pertemuan itu. Mendengar tantangan sang baginda, para peserta pertemuan saling pandang. Prtanyaan itu merupakan pertanyaan yang sulit di jawab.
            “Maaf Ayahanda, izinkan Ananda pergi ke sarang Raja ular itu untuk menumpasnya dan membawa kakak dan istrinya kembali pulang,” ujar putra Bungsu sang Raja yang bernama Gajah Merik. Kedua tangannya mengepal.
            Sang Raja tidak serta merta mengabulkan keinginan Gajah Merik. Di matanya, putra bungsunya itu sangatlah muda belia. Usianya baru Tiga Belas tahun. Penguasaan ilmu pengetahuan dan ilmu kesaktian tidaklah diragukan lagi, tetapi menantang Raja ular yang sakti itu soal lain. Dipandanginya kembali lekat-lekat raut wajah Gajah Merik. Dari sorot matanya, sang Raja melihat semangat yang menggebu-gebu,keberanian yang luar biasa, serta kekerasan hatinya. Tidak sampai hati sang Raja mematikan itu semua hanya karena dia masih sangat belia sehingga tidak di beri izin.
            “Maaf Ayahanda. Sekali lagi, izinkanlah hamba menumpas Raja ular itu.” Ujar Gajah Merik mengulang perkataannya karena sang baginda tidak segera menanggapi keinginannya.
            Sebenarnya, bukan hanya Raja yang terkejut mendengar perkataan putra bungsu, para peserta juga sangat terkejut. Sebab, usianya masih sangat muda, tetapi dialah yang paling berani diantara putra-putra Raja lainnya.
            “Baiklah, anakku Gajah Merik. Ayahanda izinkan ananda pergi memerangi Raja ular dan menyelamatkan kakakmu serta istrinya, tetapi ada satu syarat yang harus ananda penuhi. Ananda harus bertapa terlebih dahulu di Tepat Topes selama tujuh hari tujuh malam untuk mendapatkan senjata pusaka sebagai bekal dalam menghadapi kesaktian Raja ular,” ujar Raja Bikau Bermano.
            “Ananda patuh memenuhi syarat itu, Ayahanda,” kata Gajah Merik singkat saja. Tekadnya sudah bulat suhingga syarat yang di lontarkan sang Raja bukanlah suatu hal yang memberatkannya.
            “kepala pengawal, siapkan empat pengawal terbaik untuk mengamankan dan mengawal putraku Gajah Merik bertapa di Tepat Topes, yaitu suatu wilayah di antara Ibu Kota kerajaan Suka Negeri dan kampung Baru, titah sang Raja kepada pengawal.
            “Siap Baginda. Hamba akan melaksanakan titah baginda itu dengan sebaik-baiknya,” sahut sang kepala pengawal patuh.
            Esok harinya, Gajah Merik yang dikawal empat pengawal terbaik kerajaan berangkat ke tempat pertapaan. Tiba di Talang Macan, Gajah Merik memutuskan berpisah dengan para pengawalnya. Dia selanjutnya meneruskan perjalanan ke Tepat Topes dan bertapa disana. Usai menuntaskan tujuh hari tujuh malam bertapanya, Gajah Merik mendapatkan dua senjata pusaka. Senjata pertama adalah sebilah keris yang memiliki kesaktian sebagai penuntun Gajah Merik menyelam ke dasar Danau layaknya berjalan normal seperti di daratan. Senjata kedua adalah sehelai selendang  yang dapat berubah wujud menjadi pedang jika diucapkan mantra khusus.
            Gajah Merik segera turun  dari pertapaannya menuju Talang Macan untuk bergabung dengan pengawalnya dan kembali ke istana. Ketika dari kejauhan Gajah Merik sudah melihat para pengawalnya, dia berubah pikiran. Gajah Merik sudah tidak sabar ingin langsung ke tepi Danau Tes sendirian saja. Oleh karena itu, dia menyelam ke sungai Air Ketahun. Tubuhnyapun tidak tersentuh air.
Gajah Merik sampai di Danau Tes tanpa memakan waktu yang lama. Dia langsung terjun ke dasar tempat pemandian kerajaan di tepi Danau Tes. Tepat di dasar danau, Gajah Merik menemukan gerbang istana Raja ular. Gerbang itu dijaga ular-ular besar penjaga istana. “Heh...siapa kamu? Berani sekali memasuki wilayah Raja ular. Mencari mati, kamu ya? Bentak ular pengawal garang. Sesungguhnya, ular pengawal itu kaget bukan kepalang berjumpa anak manusia yang berhasil menyusup ke istana Raja ular yang letaknya ada di dasar danau. Pasti, anak ini memiliki kesaktian yang luar biasa, pikirnya dalam hati. Pikirannya itu telah melemahkannya sehingga para ular pengawal itu berhasil dilumpuhkan Gajah Merik dengan sekali pukul.
            “Saya Gajah Merik, kalianlah yang mencari mati jika berani menghalangi saya bertemu dengan Rajamu. Rasakan ini,” gertak Gajah Merik membalas bentakan ular pengawal. Gajah Merik menyerang para ular pengawal dan berhasil mengalahkan mereka dengan mudah. Setelah mengalahkan ular pengawal di gerbang istana, Gajah Merik menerobos kedalam istana yang berbentuk gua yang besar  dan luas. Sebelum ketempat Raja ular berada, rupanya Gajah Merik harus melalui enam gerbang yang dijaga ketat para ular pengawal yang kuat dan sakti. Gajah Merik berhasil melalui enam gerbang itu dan sampailah ke kediaman Raja ular. Asap tebal menggulung  di hadapan Gajah Merik. Seiring menipisnya asap, wujud ular raksasa berkepala tujuh menyeruak. Wujudnya sangat besar suaranya menggema dan menggetarkan dinding-dinding istana, dan sangat menakutkan. “Rupanya kamu bocah tengik yang berani mengacak-ngacak istanaku. Sudah bosan hidup kamu?!!” ancam Raja ular marah luar biasa. Suaranya menggelegar. Meneggakkan bulu kuduk bagi yang mendengarkannya. Berhadapan langsung dengan Raja ular raksasa berkepala tujuh tidaklah menyurutkan langkah Gajah Merik. Di acungkanlah keris sakti miliknya sebagai tanda Gajah Merik menantang Raja ular itu berduel dengannya. “Hei...makhluk terkutuk, saya datang untuk melenyapkanmu dari muka bumi ini sekaligus membawa pulang Putra Mahkota dan istrinya yang telah kau culik dan kau sembunyikan dalam istanamu ini!” teriak Gajah Merik tidak kalah hebat gertakannya kepada wujud ular raksasa di hadapannya. “ha...ha..lucu sekali ucapanmu itu, bocah tengik.! Aku berjanji akan menyerahkan Putra Mahkota dan istrinya itu jika kamu dapat menghidupkan kembali para ular penjaga yang telah kau tumpas tadi. “kemudian, tujuh kepala ular itu merunduk dan mendekat ke arah wajah Gajah Merik sambil berkata pelan,” dan tentu saja kau harus mengalahkanku,” ujar Raja ular meremehkan Gajah Merik. Usai berkata demikian, Raja ular tertawa terbahak-bahak sampai-sampai tubuhnya berguncang-guncang. “Tertawalah sampai puas, hai Raja ular yang sombong.! Lihatlah ini!,” teriak Gajah Merik. Dikebutkannya selendang yang sedari dari bertengger di bahu kirinya. Dalam sekali kebutan, para ular penjaga yang telah tewas  hidup kembali. Melihat kesaktian Gajah Merik yang luar biasa itu, tawa Raja ular terhenti berganti berang. Harga dirinya seperti diinjak-injak  oleh seorang anak kecil. Diserangnya Gajah Merik dengan jurus andalannya. Kini, sang Raja ular menyadari dirinya tidak boleh main-main lagi dalam menghadapi Gajah Merik. Perkelahian antara Gajah Merik dan Raja ular berlangsung sangat sengit. Mereka saling serang, saling terjang, dan saling adu kesaktian. Sampailah pada hari kelima, Raja ular mulai terlihat kelelahan. Energinya mulai terkuras, sedangkan Gajah Merik masih tetap prima dan tambah digdaya. Pukulan dan serangan Gajah Merik beberapa kali mengenai sasaran. Pertahanan Raja ular mulai kedodoran disana sini. Sampailah pada puncaknya, Gajah Merik ingin mengakhiri perkelahian yang sangat melelahkan itu. Dimantrainya selendang sihingga berubah menjadi pedang yang mampu mencederai tubuh Raja ular. Raja ular terhuyung surut mundur beberapa langkah ke belakang. Wujudnya bersalin rupa ke wujud sosok manusia. Kaki kirinya terluka parah terkena  sabetan pedang. Dilambai-lambaikan kedua tangannya tanda menyerah. Gajah Merik menolong dan mendudukkannya. Raja ular mengaku kalah dan mengatakan suatu tempat dalam istana tempat Putra Mahkota dan istrinya disandera. Gajah Merik bergegas ke tempat yang dimaksud dan berjumpa dengan kakaknya. Sementara itu, Raja ular duduk bersemedi berusaha mengobati lukanya.
            Di tempat lain di istana kerajaan Kutei Rukam, Raja dan permaisurinya dilanda kecemasan yang mendalam. Setelah putra sulungnya menghilang, tiada kabar pula tentang putra bungsunya. Seharusnya setelah tujuh hari tujuh malam bertapa, Gajah Merik kembali ke istana, tetapi hingga kini belum kelihatan batang hidungnya. Hingga beberapa hari kemudian, datanglah kabar yang membahagiakan hati dan melegakan. Seorang pengawal berlari tergesa-gesa ingin segera mengabarkan kepada sang Raja, Putra Mahkota Gajam Meram dan istrinya Putra Jenggai, serta Gajah Merik telah muncul ke permukaan Danau Tes dengan selamat. Rupanya setelah bertapa, Gajah Merik langsung ke tempat Raja ular. Setelah sampai kabar gembira itu ke telinga sang Raja, istana disibukkan dengan upacara penyambutan.
            Sorak-sorai kemenangan mengiringi langkah Putra Mahkota Gajah Meram dan istrinya Putri Jenggai, serta Gajah Merik menuju istana. Wajah ketiganya sumringah karena telah terbebas  dari kungkungan Raja ular. Setibanya di istana, mereka di sambut  dengan upacara penyambutan. Peluk cium mewarnai kepulangan mereka. Pada saat yang berbahagia itulah,  Raja menobatkan Putra Mahkota Gajah Meram menjadi Raja menggantikan dirinya. Gajah Meram menolak penobatan itu. Menurutnya, adik bungsunyalah yang lebih berhak menjadi Raja.
            “Ayahanda, bukanlah ananda berlaku lancang. Gajah Meriklah yang lebih pantas menjadi Raja. Karena dengan jiwa kepahlawanannya, dia memberikan sumbangsih yang besar  kepada kerajaan ini serta keberaniannya dapat menyelamatkan ananda dan Putri Jenggai,” tutur Gajah Meram dengan penuh bijaksana. Baginda Raja menyetujui usulan Gajah Meram. Baginda Raja memahkotai dan menobatkan Gajah Merik menjadi seorang Raja. Kemudian, Gajah Merik menunjuk Raja ular dan para pengawal menjadi hulubalang kerajaan.
            Kisah heroik Gajah Merik bertempur dengan Raja ular melahirkan legenda tentang ular raksasa berkepala tujuh sebagai penunggu Danau Tes. Oleh karena itu, hingga kini masyarakat Lebong tidak berani mengatakan hal yang tidak-tidak saat melintasi Danau Tes.  

Cerita Rakyat Bengkulu "Asal Mula Danau Tes"


Asal Mula Danau Tes
            Siang itu, beberapa tokoh masyarakat Dusun Kutei Donok, Tanah Ranah Sekalawi (kini, bernama daerah Lebong) memenuhi undangan sang ketua Adat untuk Bermusyawarah memecahkan masalah penting. Sebenarnya, para tokoh masyarakatlah yang mendesak ketua Adat untuk segera menggelar musyawarah untuk menyelesaikan masalah tentang pekerjaan yang sedang dilakukan si Orang Sakti. Si Orang Sakti yang dimaksud itu sering dijuluki sebagai siPahit Lidah oleh masyarakat setempat karena apa yang dikatakannya selalu menjadi kenyataan.
            “Saya sedikitnya sudah mendengar permasalahan siPahit Lidah itu, tetapi hanya berupa cerita dari mulut ke mulut. Nah, saya ingin mendengar sendiri duduk masalahnya agar kita dapat segera menemukn penyelesaiannya. Silahkan, siapa yang akan maju berbicara mewakili tokoh-tokoh masyarakat dusun?” tanya sang ketua Adat membuka Permusyawarahan itu.
            “Begini, Tuan Ketua Adat yang kami segani dan hormati. Tiga hari yang lalu, siPahit Lidah berangkat untu membuka lahan persawahan baru di Baten Kawuk. Daerah ini berada lima kilometer dari dusun kita,” tutur perwakilan tokoh masyarakat.
            “tunggu dulu. Ya, tiga hari yang lalu dia memang kesini. siPahit Lidah meminta izin kepada saya untuk membuka lahan di Baten Kawuk dan tentu saja saya izinkan. Ada yang salah?” sela ketua Adat.
            “Pemberian izinnya tidak salah Tuan Ketua Adat. Letak salahnya ialah dari cara kerja siPahit Lidah. Ketika dia berhasil membuka lahan, dia mulai mencangkul lahan itu. Tanah hasil cangkulan lahan dibuangnya ke Sungai Air Ketahun, sedangkan luas lahan garapannya kurang lebih stengah hektar. Jika kita tidak menghantikan kerja siPahit Lidah, tanah hasil cangkulan akan membendung sungai Air Ketahun. Sungai akan meluap, lalu menenggelamkan dusun kita ini,” jelas perwakilan tokoh masyarakat. Tokoh-tokoh lainnya terdengar ribut membenarkan apa yang dikatakan wakil mereka itu.
            “Mohon semuanya tenang,”  kata ketua Adat. “Saya sudah mengerti permasalahannya. Sekarang, mari kita bermusyawarah mencari cara untuk menghentikan kerja siPahit Lidah. Siapa yang mempunyai usul? Silahkan dikemukakan.”
            Para tokoh kembali tenang. Satu per satu menyampaikan usulannya. Setelah setengah jam bermusyawarah, mereka menetapkan satu keputusan bahwa dua orang akan diutus untuk menemui siPahit Lidah dan menyampaikan kabar bohong yang dapat menghentikan kerja siPahit Lidah.
            Di tempat lain di Baten Kawuk, siPahit Lidah tidak menyadari bahwa dirinya sedang dibicarakan ketua Adat Dusunnya dan para tokoh masyarakat. Tiga hari yang lalu, dirinya berpamitan kepada anak lelakinya untuk pergi bekerja membuka lahan persawahan baru. siPahit Lidah meminta anaknya untuk menjaga rumah dengan baik selama dia pergi. Kemudian, siPahit Lidah meminta izin kepada sang katua Adat. Setelah semuanya beres, siPahit Lidah pun berangkat menuju Baten Kawuk dengan membawa perlengkapan yang diperlukan selama membuka lahan, seperti kapak, cangkul, dan parang.
            Setibanya dilahan kosong di tepi sungai Air Ketahun, siPahit Lidah mulai bekerja. Selama dua hari, dia berhasil menebang pohon dan membabat semak belukar pada lahan seluas setengah hektar. Padahal lahan seluas itu, rata-rata orang di Dusunnya sanggup menyelesaikannya selama tujuh hari. siPahit Lidah tersenyum pada dirinya sendiri yang sanggup bekerja sangat cepat.
             Pada hari ketiga, siPahit Lidah sudah memperoleh lahan baru yang cukup luas. Dicangkulnya lahan itu dengan penuh semangat. Hasil tanah cangkulannya itu dibuang ke aliran sungai Air Ketahun. Dia tidak menyadari bahwa apa yang diperbuatnya itu menyumbat aliran sungai dan akibat fatalnya adalah air meluap menenggelamkan dusunnya.
            Seperti hari-hari sebelumnya pada hari keempat, siPahit Lidah masih bersimbah keringat mencangkul lahan bakal persawahannya. Tiba-tiba, datanglah dua utusan ketua Adat dan para tokoh masyarakat di dusunnya.
            “Pahit Lidah, kami datang mengunjungi hendak mengatakan sesuatu buruk telah menimpa anakmu. Anakmu telah tiada karena terserang sakit demam tinggi secara mendadak. Pulanglah dan tinggalkan pekerjaanmu sekarang juga,” kata salah seorang dari utusan.
            Entah mengapa dalam diri siPahit Lidah meyakini bahwa anaknya baik-baik saja dan tentu saja dia tidak mempercayai kabar yang dibawa dua orang utusan itu.
            “Maaf, aku percaya anakku baik-baik saja. Aku tetap disini. Pekerjaanku sangat banyak,” tolak siPahit Lidah singat.
            Pulanglah dua utusan tersebut tanpa hasil. Mengetahui hal demikian, ketua Adat tidak pantang mundur. Keesokan harinya, dia mengutus kembali dua orang lagi  untuk membawa kabar bohong guna membujuk siPahit Lidah. Akan tetapi, siPahit Lidah teguh pada pendiriannya bahwa anaknya dirumah dalam keadaan baik-baik saja sehingga dia menolak meninggalkan pekerjaannya.
            Akhirnya, sang ketua Adat bersama beberapa tokoh masyarakatlah yang pergi menemui siPahit Lidah untuk mengabarkan kabar bohong itu. Karena menaruh rasa hormat kepada ketua Adat, siPahit Lidah mempercayai kabar tentang kematian anaknya.
            “Karena tuan ketua Adat yang terhormat  yang megabarkannya, hamba percaya bahwa anak hamba telah meninggal dunia,” tutur siPahit Lidah.
            “Ya..ya.. segera pulanglah kalau begitu,” kata ketua Adat sambil menepuk bahu siPahit Lidah dan berpamitan kembali ke dusun.
            Sesaat setelah ketua Adat berlalu, tersadarlah siPahit Lidah tentang apa yang telah diucapkannya. Anaknya yang tadinya baik-baik saja dirumah, kini telah benar-benar tiada karena telah meluncur dalam perkataannya saktinya bahwa anaknya telah meninggal dunia. Betapa hancur perasaan siPahit Lidah. Nasi telah menjadi bubur. Tidak mungkin siPahit Lidah menarik kembali ucapannya itu. Dengan jengkel, siPahit Lidah merampungkan pekerjaannya. Terus-menerus dia mencangkul dan membuang tanah cangkulannya ke sungai Air Kutahu, lantas lantas terburu-buru pulang ke dusunnya.
            Benar saja, siPahit Lidah menemukan anaknya telah meninggal dunia. Dipangku jasad anaknya sambil berbisik meminta maaf kepada anaknya itu. Warga dusun yang mendengar kabar duka segera berdatangan ke rumah siPahit Lidah dan membantu pemakaman anaknya.
            Berdasarkan cerita dari mulut ke mulut, tanah hasil cangkulan siPahit Lidah yang di buang ke sungai Air Ketahun membendung aliran airnya dan terbentuklah danau besar yang sekarang dinamakan sebagai Danau Tes. Danau Tes adalah danau terbesar di Provinsi Bengkulu. Pemandangan yang indah dan asri melingkupi suasana Danau Tes. Danau Tes terbentang di antara Dusun Kutei Donok dan Tes, kecamatan Lebong Selatan, kabupaten Lebong.

Jumat, 14 November 2014

Puisi IBU

                     I B U

Ibu, kasihmu sepanjang masa
Tak bisa ku balas dengan air tuba
Meskipun harta yang berlimpa
Tak ada yang bisa
Membalas semua

Ibu, terima kasih untuk Do'a mu
Atas semua yang kau lakukan padaku
Mungkin hanya Do'a
Yang bisa membalasnya
Dan Surga adalah tempatnya

Cipt : Adam Marzuki (@AdamMarzuki07)

Kamis, 13 November 2014

Puisi Sebuah Do'a Untuk Pahlawan

Sebuah Do'a Untuk Pahlawan

Jasamu begitu besar untuk Negeri ini
Untuk tanah air tercinta,
Indonesia. . .

Darahmu seperti keringat yang bertumpahan
Jiwa ragamu, kau perjuangkan
Demi sebuah Harapan. . .


Pahlawan,
Hanya Do'a yang bisa kami panjatkan
Untuk perjuangan yang kami Banggakan

Karenamulah Merdeka
Berkibar diantara sang saka
Di seluruh tanah air Indonesia

Semoga perjuangan jiwa raga
Yang telah tiada
Mengantarmu menuju Surga-Nya
Amiiiinnn....

Cipt : Adam Marzuki (@AdamMarzuki07)