Ular
Kepala Tujuh siPenunggu Danau Tes
Hilangnya Putra Mahkota Gajah Meram dan Istrinya Putri
Jenggai, secara miterius di pemandian kerajaan Aket di tepi Danau Tes
menggemparkan isntana kerajaan Kutei Rukam. Mereka memang sedang menjalani
upacara mandi berendam di pemandian itu. Upacara itu merupakan salah satu
rangkaian upacara pernikahan antara Putra Mahkota kerajaan Kutei Rukam dan
Putri Jenggai dari kerajaan Suka Negeri.
Raja kerajaan Kutei Rukam, raja Bikau Bermano,
berinisiatif mengadakan pertemuan darurat. Pertemuan itu dihadiri para petinggi
dari kerajaan, bendahara, para hutabalang, dan tujuh orang putranya. Kecemasan
tampak jelas di raut wajah sang Raja karena anak dan menantunya hilang tanpa
jejak.
“Terima kasih saya ucapkan kepada kalian semua yang sudi
menghadiri pertemuan darurat ini. Seperti yang telah kalian ketahui dari kabar
yang sudah beredar luas, baik di lingkungan istana maupun di masyarakat luas
bahwa Putra Mahkota dan istrinya hilang begitu saja di tepi Danau Tes. Adakah
yang dapat memberikan pandangannya mengenai masalah ini?” tanya Raja sambil
mengalihkan pendangannya menyapu semua yang hadir di ruang sidang istana. Sang
raja sangat berharap ada setitik informasi atau jalan keluar yang dihasilkan
melalui pertemuan itu.
“Maaf, Baginda Raja. Hamba adalah hulubalang yang
bertugas bersama tiga orang pengawal kerajaan yang bertanggung jawab menjaga keselamatan Putra Mahkota dan Putri
Jenggai. Sementara keduanya berendam,kami berjaga-jaga di depan pemandian. Akan
tetapi, hingga matahari tambah tinggi, mereka belum selesai juga. Hambalah yang
masuk ke pemandian untuk memastikan keadaan mereka. Hamba sangat terkejut
mendapati Putra Mahkota dan Putri
Jenggai tidak ada di pemandian, padahal kami yang menjaga diluar tidak
mendengar adanya suara keributan. Hamba dan semua pengawal menyusuri tepian
danau untuk mencari mereka. Hasilnya seperti yang Baginda Raja ketahui. Putra
Mahkota dan Putri Jenggai belum ditemukan hingga kini,” jelas hulubalang yang
usianya hampir separuh baya.
“aneh memang. Sampai-sampai penjaga yang dekat di lokasi
pemandian pun tidak mendengar sesuatu saat putra dan menantuku menghilang,”
gumam sang Raja.
“Ampun, Baginda. Hamba ingin menyampaikan pendapat hamba.
Mungkin saja, Putra Mahkota dan Putri Jenggai diculik olehUlar Raksasa
berkepala Tujuh yang menghuni dasar Danau Tes. Pendapat hamba ini didasarkan
pada cerita-cerita dari tun tuai (orang tua-tua). Menurut mereka, raja ular
itu sangat sakti, licik, kejam dan suka mengganggu beberapa orang yang sedang
mandi di Danau Tes,” ujar hulubalang lainnya turut menyumbang pendapatnya.
Mendengar raja ular sakti disebut-sebut, suasana
pertemuan menjadi gaduh dan ramai. Masing-masing bercerita tentang keberadaan
ular sakti itu kepada orang di samping kanan dan kirinya di ruang rapat itu.
Ada yang bercerita tetangganya yang di ganggu, saudara, atau orang penting di
desanya. Akan tetapi, tidak satupun dari mereka yang pernah menyaksikannya atau
sekeda berurusan langsung dengan raja ular di Danau Tes itu. Mereka salin
bertukar kabar burung yang belum jelas kebenarannya. Pada dasarnya, cerita Raja
ular yang sakti dan suka mengganggu itu bukanlah halyang baru bagi mereka.
Melihat suasana rapat yang gaduh, sang Raja kembali bertatih. Sekejap, para
peserta pertemuan langsung terdiam.
“Jika benar apa yang kamu katakan hai Hulubalang,
siapakahyang mampu menandingi si Raja ular serta membebaskan Putra Mahkota dan
istrinya dari cengkramannya?” tantang baginda Raja kepada semua yang hadir
dalam pertemuan itu. Mendengar tantangan sang baginda, para peserta pertemuan
saling pandang. Prtanyaan itu merupakan pertanyaan yang sulit di jawab.
“Maaf Ayahanda, izinkan Ananda pergi ke sarang Raja ular
itu untuk menumpasnya dan membawa kakak dan istrinya kembali pulang,” ujar
putra Bungsu sang Raja yang bernama Gajah Merik. Kedua tangannya mengepal.
Sang Raja tidak serta merta mengabulkan keinginan Gajah
Merik. Di matanya, putra bungsunya itu sangatlah muda belia. Usianya baru Tiga
Belas tahun. Penguasaan ilmu pengetahuan dan ilmu kesaktian tidaklah diragukan
lagi, tetapi menantang Raja ular yang sakti itu soal lain. Dipandanginya
kembali lekat-lekat raut wajah Gajah Merik. Dari sorot matanya, sang Raja
melihat semangat yang menggebu-gebu,keberanian yang luar biasa, serta kekerasan
hatinya. Tidak sampai hati sang Raja mematikan itu semua hanya karena dia masih
sangat belia sehingga tidak di beri izin.
“Maaf Ayahanda. Sekali lagi, izinkanlah hamba menumpas
Raja ular itu.” Ujar Gajah Merik mengulang perkataannya karena sang baginda
tidak segera menanggapi keinginannya.
Sebenarnya, bukan hanya Raja yang terkejut mendengar
perkataan putra bungsu, para peserta juga sangat terkejut. Sebab, usianya masih
sangat muda, tetapi dialah yang paling berani diantara putra-putra Raja
lainnya.
“Baiklah, anakku Gajah Merik. Ayahanda izinkan ananda
pergi memerangi Raja ular dan menyelamatkan kakakmu serta istrinya, tetapi ada
satu syarat yang harus ananda penuhi. Ananda harus bertapa terlebih dahulu di
Tepat Topes selama tujuh hari tujuh malam untuk mendapatkan senjata pusaka
sebagai bekal dalam menghadapi kesaktian Raja ular,” ujar Raja Bikau Bermano.
“Ananda patuh memenuhi syarat itu, Ayahanda,” kata Gajah
Merik singkat saja. Tekadnya sudah bulat suhingga syarat yang di lontarkan sang
Raja bukanlah suatu hal yang memberatkannya.
“kepala pengawal, siapkan empat pengawal terbaik untuk
mengamankan dan mengawal putraku Gajah Merik bertapa di Tepat Topes, yaitu
suatu wilayah di antara Ibu Kota kerajaan Suka Negeri dan kampung Baru, titah
sang Raja kepada pengawal.
“Siap Baginda. Hamba akan melaksanakan titah baginda itu
dengan sebaik-baiknya,” sahut sang kepala pengawal patuh.
Esok harinya, Gajah Merik yang dikawal empat pengawal
terbaik kerajaan berangkat ke tempat pertapaan. Tiba di Talang Macan, Gajah
Merik memutuskan berpisah dengan para pengawalnya. Dia selanjutnya meneruskan
perjalanan ke Tepat Topes dan bertapa disana. Usai menuntaskan tujuh hari tujuh
malam bertapanya, Gajah Merik mendapatkan dua senjata pusaka. Senjata pertama
adalah sebilah keris yang memiliki kesaktian sebagai penuntun Gajah Merik
menyelam ke dasar Danau layaknya berjalan normal seperti di daratan. Senjata
kedua adalah sehelai selendang yang
dapat berubah wujud menjadi pedang jika diucapkan mantra khusus.
Gajah Merik segera turun
dari pertapaannya menuju Talang Macan untuk bergabung dengan pengawalnya
dan kembali ke istana. Ketika dari kejauhan Gajah Merik sudah melihat para
pengawalnya, dia berubah pikiran. Gajah Merik sudah tidak sabar ingin langsung
ke tepi Danau Tes sendirian saja. Oleh karena itu, dia menyelam ke sungai Air
Ketahun. Tubuhnyapun tidak tersentuh air.
Gajah
Merik sampai di Danau Tes tanpa memakan waktu yang lama. Dia langsung terjun ke
dasar tempat pemandian kerajaan di tepi Danau Tes. Tepat di dasar danau, Gajah
Merik menemukan gerbang istana Raja ular. Gerbang itu dijaga ular-ular besar
penjaga istana. “Heh...siapa kamu? Berani sekali memasuki wilayah Raja ular.
Mencari mati, kamu ya? Bentak ular pengawal garang. Sesungguhnya, ular pengawal
itu kaget bukan kepalang berjumpa anak manusia yang berhasil menyusup ke istana
Raja ular yang letaknya ada di dasar danau. Pasti, anak ini memiliki kesaktian
yang luar biasa, pikirnya dalam hati. Pikirannya itu telah melemahkannya
sehingga para ular pengawal itu berhasil dilumpuhkan Gajah Merik dengan sekali
pukul.
“Saya Gajah Merik, kalianlah yang mencari mati jika
berani menghalangi saya bertemu dengan Rajamu. Rasakan ini,” gertak Gajah Merik
membalas bentakan ular pengawal. Gajah Merik menyerang para ular pengawal dan
berhasil mengalahkan mereka dengan mudah. Setelah mengalahkan ular pengawal di
gerbang istana, Gajah Merik menerobos kedalam istana yang berbentuk gua yang
besar dan luas. Sebelum ketempat Raja
ular berada, rupanya Gajah Merik harus melalui enam gerbang yang dijaga ketat
para ular pengawal yang kuat dan sakti. Gajah Merik berhasil melalui enam
gerbang itu dan sampailah ke kediaman Raja ular. Asap tebal menggulung di hadapan Gajah Merik. Seiring menipisnya
asap, wujud ular raksasa berkepala tujuh menyeruak. Wujudnya sangat besar
suaranya menggema dan menggetarkan dinding-dinding istana, dan sangat
menakutkan. “Rupanya kamu bocah tengik yang berani mengacak-ngacak istanaku.
Sudah bosan hidup kamu?!!” ancam Raja ular marah luar biasa. Suaranya
menggelegar. Meneggakkan bulu kuduk bagi yang mendengarkannya. Berhadapan
langsung dengan Raja ular raksasa berkepala tujuh tidaklah menyurutkan langkah
Gajah Merik. Di acungkanlah keris sakti miliknya sebagai tanda Gajah Merik
menantang Raja ular itu berduel dengannya. “Hei...makhluk terkutuk, saya datang
untuk melenyapkanmu dari muka bumi ini sekaligus membawa pulang Putra Mahkota
dan istrinya yang telah kau culik dan kau sembunyikan dalam istanamu ini!”
teriak Gajah Merik tidak kalah hebat gertakannya kepada wujud ular raksasa di
hadapannya. “ha...ha..lucu sekali ucapanmu itu, bocah tengik.! Aku berjanji
akan menyerahkan Putra Mahkota dan istrinya itu jika kamu dapat menghidupkan
kembali para ular penjaga yang telah kau tumpas tadi. “kemudian, tujuh kepala
ular itu merunduk dan mendekat ke arah wajah Gajah Merik sambil berkata pelan,”
dan tentu saja kau harus mengalahkanku,” ujar Raja ular meremehkan Gajah Merik.
Usai berkata demikian, Raja ular tertawa terbahak-bahak sampai-sampai tubuhnya
berguncang-guncang. “Tertawalah sampai puas, hai Raja ular yang sombong.!
Lihatlah ini!,” teriak Gajah Merik. Dikebutkannya selendang yang sedari dari
bertengger di bahu kirinya. Dalam sekali kebutan, para ular penjaga yang telah
tewas hidup kembali. Melihat kesaktian
Gajah Merik yang luar biasa itu, tawa Raja ular terhenti berganti berang. Harga
dirinya seperti diinjak-injak oleh
seorang anak kecil. Diserangnya Gajah Merik dengan jurus andalannya. Kini, sang
Raja ular menyadari dirinya tidak boleh main-main lagi dalam menghadapi Gajah
Merik. Perkelahian antara Gajah Merik dan Raja ular berlangsung sangat sengit.
Mereka saling serang, saling terjang, dan saling adu kesaktian. Sampailah pada
hari kelima, Raja ular mulai terlihat kelelahan. Energinya mulai terkuras,
sedangkan Gajah Merik masih tetap prima dan tambah digdaya. Pukulan dan
serangan Gajah Merik beberapa kali mengenai sasaran. Pertahanan Raja ular mulai
kedodoran disana sini. Sampailah pada puncaknya, Gajah Merik ingin mengakhiri
perkelahian yang sangat melelahkan itu. Dimantrainya selendang sihingga berubah
menjadi pedang yang mampu mencederai tubuh Raja ular. Raja ular terhuyung surut
mundur beberapa langkah ke belakang. Wujudnya bersalin rupa ke wujud sosok
manusia. Kaki kirinya terluka parah terkena
sabetan pedang. Dilambai-lambaikan kedua tangannya tanda menyerah. Gajah
Merik menolong dan mendudukkannya. Raja ular mengaku kalah dan mengatakan suatu
tempat dalam istana tempat Putra Mahkota dan istrinya disandera. Gajah Merik
bergegas ke tempat yang dimaksud dan berjumpa dengan kakaknya. Sementara itu, Raja
ular duduk bersemedi berusaha mengobati lukanya.
Di tempat lain di istana kerajaan Kutei Rukam, Raja dan
permaisurinya dilanda kecemasan yang mendalam. Setelah putra sulungnya
menghilang, tiada kabar pula tentang putra bungsunya. Seharusnya setelah tujuh
hari tujuh malam bertapa, Gajah Merik kembali ke istana, tetapi hingga kini
belum kelihatan batang hidungnya. Hingga beberapa hari kemudian, datanglah
kabar yang membahagiakan hati dan melegakan. Seorang pengawal berlari
tergesa-gesa ingin segera mengabarkan kepada sang Raja, Putra Mahkota Gajam
Meram dan istrinya Putra Jenggai, serta Gajah Merik telah muncul ke permukaan
Danau Tes dengan selamat. Rupanya setelah bertapa, Gajah Merik langsung ke
tempat Raja ular. Setelah sampai kabar gembira itu ke telinga sang Raja, istana
disibukkan dengan upacara penyambutan.
Sorak-sorai kemenangan mengiringi langkah Putra Mahkota
Gajah Meram dan istrinya Putri Jenggai, serta Gajah Merik menuju istana. Wajah
ketiganya sumringah karena telah terbebas
dari kungkungan Raja ular. Setibanya di istana, mereka di sambut dengan upacara penyambutan. Peluk cium
mewarnai kepulangan mereka. Pada saat yang berbahagia itulah, Raja menobatkan Putra Mahkota Gajah Meram
menjadi Raja menggantikan dirinya. Gajah Meram menolak penobatan itu.
Menurutnya, adik bungsunyalah yang lebih berhak menjadi Raja.
“Ayahanda, bukanlah ananda berlaku lancang. Gajah
Meriklah yang lebih pantas menjadi Raja. Karena dengan jiwa kepahlawanannya,
dia memberikan sumbangsih yang besar kepada kerajaan ini serta keberaniannya dapat
menyelamatkan ananda dan Putri Jenggai,” tutur Gajah Meram dengan penuh
bijaksana. Baginda Raja menyetujui usulan Gajah Meram. Baginda Raja memahkotai
dan menobatkan Gajah Merik menjadi seorang Raja. Kemudian, Gajah Merik menunjuk
Raja ular dan para pengawal menjadi hulubalang kerajaan.
Kisah heroik Gajah Merik bertempur dengan Raja ular
melahirkan legenda tentang ular raksasa berkepala tujuh sebagai penunggu Danau
Tes. Oleh karena itu, hingga kini masyarakat Lebong tidak berani mengatakan hal
yang tidak-tidak saat melintasi Danau Tes.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar