Kamis, 27 November 2014

Cerita Rakyat Bengkulu "Asal Mula Danau Tes"


Asal Mula Danau Tes
            Siang itu, beberapa tokoh masyarakat Dusun Kutei Donok, Tanah Ranah Sekalawi (kini, bernama daerah Lebong) memenuhi undangan sang ketua Adat untuk Bermusyawarah memecahkan masalah penting. Sebenarnya, para tokoh masyarakatlah yang mendesak ketua Adat untuk segera menggelar musyawarah untuk menyelesaikan masalah tentang pekerjaan yang sedang dilakukan si Orang Sakti. Si Orang Sakti yang dimaksud itu sering dijuluki sebagai siPahit Lidah oleh masyarakat setempat karena apa yang dikatakannya selalu menjadi kenyataan.
            “Saya sedikitnya sudah mendengar permasalahan siPahit Lidah itu, tetapi hanya berupa cerita dari mulut ke mulut. Nah, saya ingin mendengar sendiri duduk masalahnya agar kita dapat segera menemukn penyelesaiannya. Silahkan, siapa yang akan maju berbicara mewakili tokoh-tokoh masyarakat dusun?” tanya sang ketua Adat membuka Permusyawarahan itu.
            “Begini, Tuan Ketua Adat yang kami segani dan hormati. Tiga hari yang lalu, siPahit Lidah berangkat untu membuka lahan persawahan baru di Baten Kawuk. Daerah ini berada lima kilometer dari dusun kita,” tutur perwakilan tokoh masyarakat.
            “tunggu dulu. Ya, tiga hari yang lalu dia memang kesini. siPahit Lidah meminta izin kepada saya untuk membuka lahan di Baten Kawuk dan tentu saja saya izinkan. Ada yang salah?” sela ketua Adat.
            “Pemberian izinnya tidak salah Tuan Ketua Adat. Letak salahnya ialah dari cara kerja siPahit Lidah. Ketika dia berhasil membuka lahan, dia mulai mencangkul lahan itu. Tanah hasil cangkulan lahan dibuangnya ke Sungai Air Ketahun, sedangkan luas lahan garapannya kurang lebih stengah hektar. Jika kita tidak menghantikan kerja siPahit Lidah, tanah hasil cangkulan akan membendung sungai Air Ketahun. Sungai akan meluap, lalu menenggelamkan dusun kita ini,” jelas perwakilan tokoh masyarakat. Tokoh-tokoh lainnya terdengar ribut membenarkan apa yang dikatakan wakil mereka itu.
            “Mohon semuanya tenang,”  kata ketua Adat. “Saya sudah mengerti permasalahannya. Sekarang, mari kita bermusyawarah mencari cara untuk menghentikan kerja siPahit Lidah. Siapa yang mempunyai usul? Silahkan dikemukakan.”
            Para tokoh kembali tenang. Satu per satu menyampaikan usulannya. Setelah setengah jam bermusyawarah, mereka menetapkan satu keputusan bahwa dua orang akan diutus untuk menemui siPahit Lidah dan menyampaikan kabar bohong yang dapat menghentikan kerja siPahit Lidah.
            Di tempat lain di Baten Kawuk, siPahit Lidah tidak menyadari bahwa dirinya sedang dibicarakan ketua Adat Dusunnya dan para tokoh masyarakat. Tiga hari yang lalu, dirinya berpamitan kepada anak lelakinya untuk pergi bekerja membuka lahan persawahan baru. siPahit Lidah meminta anaknya untuk menjaga rumah dengan baik selama dia pergi. Kemudian, siPahit Lidah meminta izin kepada sang katua Adat. Setelah semuanya beres, siPahit Lidah pun berangkat menuju Baten Kawuk dengan membawa perlengkapan yang diperlukan selama membuka lahan, seperti kapak, cangkul, dan parang.
            Setibanya dilahan kosong di tepi sungai Air Ketahun, siPahit Lidah mulai bekerja. Selama dua hari, dia berhasil menebang pohon dan membabat semak belukar pada lahan seluas setengah hektar. Padahal lahan seluas itu, rata-rata orang di Dusunnya sanggup menyelesaikannya selama tujuh hari. siPahit Lidah tersenyum pada dirinya sendiri yang sanggup bekerja sangat cepat.
             Pada hari ketiga, siPahit Lidah sudah memperoleh lahan baru yang cukup luas. Dicangkulnya lahan itu dengan penuh semangat. Hasil tanah cangkulannya itu dibuang ke aliran sungai Air Ketahun. Dia tidak menyadari bahwa apa yang diperbuatnya itu menyumbat aliran sungai dan akibat fatalnya adalah air meluap menenggelamkan dusunnya.
            Seperti hari-hari sebelumnya pada hari keempat, siPahit Lidah masih bersimbah keringat mencangkul lahan bakal persawahannya. Tiba-tiba, datanglah dua utusan ketua Adat dan para tokoh masyarakat di dusunnya.
            “Pahit Lidah, kami datang mengunjungi hendak mengatakan sesuatu buruk telah menimpa anakmu. Anakmu telah tiada karena terserang sakit demam tinggi secara mendadak. Pulanglah dan tinggalkan pekerjaanmu sekarang juga,” kata salah seorang dari utusan.
            Entah mengapa dalam diri siPahit Lidah meyakini bahwa anaknya baik-baik saja dan tentu saja dia tidak mempercayai kabar yang dibawa dua orang utusan itu.
            “Maaf, aku percaya anakku baik-baik saja. Aku tetap disini. Pekerjaanku sangat banyak,” tolak siPahit Lidah singat.
            Pulanglah dua utusan tersebut tanpa hasil. Mengetahui hal demikian, ketua Adat tidak pantang mundur. Keesokan harinya, dia mengutus kembali dua orang lagi  untuk membawa kabar bohong guna membujuk siPahit Lidah. Akan tetapi, siPahit Lidah teguh pada pendiriannya bahwa anaknya dirumah dalam keadaan baik-baik saja sehingga dia menolak meninggalkan pekerjaannya.
            Akhirnya, sang ketua Adat bersama beberapa tokoh masyarakatlah yang pergi menemui siPahit Lidah untuk mengabarkan kabar bohong itu. Karena menaruh rasa hormat kepada ketua Adat, siPahit Lidah mempercayai kabar tentang kematian anaknya.
            “Karena tuan ketua Adat yang terhormat  yang megabarkannya, hamba percaya bahwa anak hamba telah meninggal dunia,” tutur siPahit Lidah.
            “Ya..ya.. segera pulanglah kalau begitu,” kata ketua Adat sambil menepuk bahu siPahit Lidah dan berpamitan kembali ke dusun.
            Sesaat setelah ketua Adat berlalu, tersadarlah siPahit Lidah tentang apa yang telah diucapkannya. Anaknya yang tadinya baik-baik saja dirumah, kini telah benar-benar tiada karena telah meluncur dalam perkataannya saktinya bahwa anaknya telah meninggal dunia. Betapa hancur perasaan siPahit Lidah. Nasi telah menjadi bubur. Tidak mungkin siPahit Lidah menarik kembali ucapannya itu. Dengan jengkel, siPahit Lidah merampungkan pekerjaannya. Terus-menerus dia mencangkul dan membuang tanah cangkulannya ke sungai Air Kutahu, lantas lantas terburu-buru pulang ke dusunnya.
            Benar saja, siPahit Lidah menemukan anaknya telah meninggal dunia. Dipangku jasad anaknya sambil berbisik meminta maaf kepada anaknya itu. Warga dusun yang mendengar kabar duka segera berdatangan ke rumah siPahit Lidah dan membantu pemakaman anaknya.
            Berdasarkan cerita dari mulut ke mulut, tanah hasil cangkulan siPahit Lidah yang di buang ke sungai Air Ketahun membendung aliran airnya dan terbentuklah danau besar yang sekarang dinamakan sebagai Danau Tes. Danau Tes adalah danau terbesar di Provinsi Bengkulu. Pemandangan yang indah dan asri melingkupi suasana Danau Tes. Danau Tes terbentang di antara Dusun Kutei Donok dan Tes, kecamatan Lebong Selatan, kabupaten Lebong.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar