Asal
Mula Danau Tes
Siang itu, beberapa tokoh masyarakat
Dusun Kutei Donok, Tanah Ranah Sekalawi (kini, bernama daerah Lebong) memenuhi
undangan sang ketua Adat untuk Bermusyawarah memecahkan masalah penting.
Sebenarnya, para tokoh masyarakatlah yang mendesak ketua Adat untuk segera
menggelar musyawarah untuk menyelesaikan masalah tentang pekerjaan yang sedang
dilakukan si Orang Sakti. Si Orang Sakti yang dimaksud itu sering dijuluki
sebagai siPahit Lidah oleh masyarakat setempat karena apa yang dikatakannya
selalu menjadi kenyataan.
“Saya sedikitnya sudah mendengar
permasalahan siPahit Lidah itu, tetapi hanya berupa cerita dari mulut ke mulut.
Nah, saya ingin mendengar sendiri duduk masalahnya agar kita dapat segera
menemukn penyelesaiannya. Silahkan, siapa yang akan maju berbicara mewakili
tokoh-tokoh masyarakat dusun?” tanya sang ketua Adat membuka Permusyawarahan
itu.
“Begini, Tuan Ketua Adat yang kami
segani dan hormati. Tiga hari yang lalu, siPahit Lidah berangkat untu membuka
lahan persawahan baru di Baten Kawuk. Daerah ini berada lima kilometer dari
dusun kita,” tutur perwakilan tokoh masyarakat.
“tunggu dulu. Ya, tiga hari yang
lalu dia memang kesini. siPahit Lidah meminta izin kepada saya untuk membuka
lahan di Baten Kawuk dan tentu saja saya izinkan. Ada yang salah?” sela ketua
Adat.
“Pemberian izinnya tidak salah Tuan
Ketua Adat. Letak salahnya ialah dari cara kerja siPahit Lidah. Ketika dia
berhasil membuka lahan, dia mulai mencangkul lahan itu. Tanah hasil cangkulan
lahan dibuangnya ke Sungai Air Ketahun, sedangkan luas lahan garapannya kurang
lebih stengah hektar. Jika kita tidak menghantikan kerja siPahit Lidah, tanah
hasil cangkulan akan membendung sungai Air Ketahun. Sungai akan meluap, lalu
menenggelamkan dusun kita ini,” jelas perwakilan tokoh masyarakat. Tokoh-tokoh
lainnya terdengar ribut membenarkan apa yang dikatakan wakil mereka itu.
“Mohon semuanya tenang,” kata ketua Adat. “Saya sudah mengerti
permasalahannya. Sekarang, mari kita bermusyawarah mencari cara untuk
menghentikan kerja siPahit Lidah. Siapa yang mempunyai usul? Silahkan
dikemukakan.”
Para tokoh kembali tenang. Satu per
satu menyampaikan usulannya. Setelah setengah jam bermusyawarah, mereka
menetapkan satu keputusan bahwa dua orang akan diutus untuk menemui siPahit Lidah
dan menyampaikan kabar bohong yang dapat menghentikan kerja siPahit Lidah.
Di tempat lain di Baten Kawuk,
siPahit Lidah tidak menyadari bahwa dirinya sedang dibicarakan ketua Adat
Dusunnya dan para tokoh masyarakat. Tiga hari yang lalu, dirinya berpamitan
kepada anak lelakinya untuk pergi bekerja membuka lahan persawahan baru.
siPahit Lidah meminta anaknya untuk menjaga rumah dengan baik selama dia pergi.
Kemudian, siPahit Lidah meminta izin kepada sang katua Adat. Setelah semuanya
beres, siPahit Lidah pun berangkat menuju Baten Kawuk dengan membawa
perlengkapan yang diperlukan selama membuka lahan, seperti kapak, cangkul, dan
parang.
Setibanya dilahan kosong di tepi
sungai Air Ketahun, siPahit Lidah mulai bekerja. Selama dua hari, dia berhasil
menebang pohon dan membabat semak belukar pada lahan seluas setengah hektar.
Padahal lahan seluas itu, rata-rata orang di Dusunnya sanggup menyelesaikannya
selama tujuh hari. siPahit Lidah tersenyum pada dirinya sendiri yang sanggup
bekerja sangat cepat.
Pada hari ketiga, siPahit Lidah sudah
memperoleh lahan baru yang cukup luas. Dicangkulnya lahan itu dengan penuh
semangat. Hasil tanah cangkulannya itu dibuang ke aliran sungai Air Ketahun.
Dia tidak menyadari bahwa apa yang diperbuatnya itu menyumbat aliran sungai dan
akibat fatalnya adalah air meluap menenggelamkan dusunnya.
Seperti hari-hari sebelumnya pada
hari keempat, siPahit Lidah masih bersimbah keringat mencangkul lahan bakal
persawahannya. Tiba-tiba, datanglah dua utusan ketua Adat dan para tokoh masyarakat
di dusunnya.
“Pahit Lidah, kami datang
mengunjungi hendak mengatakan sesuatu buruk telah menimpa anakmu. Anakmu telah
tiada karena terserang sakit demam tinggi secara mendadak. Pulanglah dan tinggalkan
pekerjaanmu sekarang juga,” kata salah seorang dari utusan.
Entah mengapa dalam diri siPahit
Lidah meyakini bahwa anaknya baik-baik saja dan tentu saja dia tidak
mempercayai kabar yang dibawa dua orang utusan itu.
“Maaf, aku percaya anakku baik-baik
saja. Aku tetap disini. Pekerjaanku sangat banyak,” tolak siPahit Lidah singat.
Pulanglah dua utusan tersebut tanpa
hasil. Mengetahui hal demikian, ketua Adat tidak pantang mundur. Keesokan
harinya, dia mengutus kembali dua orang lagi
untuk membawa kabar bohong guna membujuk siPahit Lidah. Akan tetapi,
siPahit Lidah teguh pada pendiriannya bahwa anaknya dirumah dalam keadaan
baik-baik saja sehingga dia menolak meninggalkan pekerjaannya.
Akhirnya, sang ketua Adat bersama
beberapa tokoh masyarakatlah yang pergi menemui siPahit Lidah untuk mengabarkan
kabar bohong itu. Karena menaruh rasa hormat kepada ketua Adat, siPahit Lidah
mempercayai kabar tentang kematian anaknya.
“Karena tuan ketua Adat yang
terhormat yang megabarkannya, hamba
percaya bahwa anak hamba telah meninggal dunia,” tutur siPahit Lidah.
“Ya..ya.. segera pulanglah kalau
begitu,” kata ketua Adat sambil menepuk bahu siPahit Lidah dan berpamitan
kembali ke dusun.
Sesaat setelah ketua Adat berlalu,
tersadarlah siPahit Lidah tentang apa yang telah diucapkannya. Anaknya yang
tadinya baik-baik saja dirumah, kini telah benar-benar tiada karena telah
meluncur dalam perkataannya saktinya bahwa anaknya telah meninggal dunia.
Betapa hancur perasaan siPahit Lidah. Nasi telah menjadi bubur. Tidak mungkin
siPahit Lidah menarik kembali ucapannya itu. Dengan jengkel, siPahit Lidah
merampungkan pekerjaannya. Terus-menerus dia mencangkul dan membuang tanah
cangkulannya ke sungai Air Kutahu, lantas lantas terburu-buru pulang ke
dusunnya.
Benar saja, siPahit Lidah menemukan
anaknya telah meninggal dunia. Dipangku jasad anaknya sambil berbisik meminta
maaf kepada anaknya itu. Warga dusun yang mendengar kabar duka segera
berdatangan ke rumah siPahit Lidah dan membantu pemakaman anaknya.
Berdasarkan cerita dari mulut ke
mulut, tanah hasil cangkulan siPahit Lidah yang di buang ke sungai Air Ketahun
membendung aliran airnya dan terbentuklah danau besar yang sekarang dinamakan
sebagai Danau Tes. Danau Tes adalah danau terbesar di Provinsi Bengkulu.
Pemandangan yang indah dan asri melingkupi suasana Danau Tes. Danau Tes
terbentang di antara Dusun Kutei Donok dan Tes, kecamatan Lebong Selatan,
kabupaten Lebong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar